Upacara Kaṭhina dan Empat Kebutuhan Pokok Para Bhikkhu

Upacara Kaṭhina dan Empat Kebutuhan Pokok Para Bhikkhu
A. Upacara Kaṭhina
            Secara harfiah, kaṭhina adalah nama dari kerangka kayu yang dipergunakan untuk menggelar kain yang akan dijahit menjadi jubah. Dengan demikian, harus dimengerti bahwa kaṭhina bukanlah nama bulan. Dalam hal ini, upacara kaṭhina yang dimaksud adalah kegiatan Saṅgha di mana para bhikkhu membuat jubah baru untuk mengganti jubah lama yang tidak layak pakai.
            Pada hari terakhir masa vassa, para bhikkhu melaksanakan pavarana sebagai pengganti hari uposatha. Setelah itu, barulah masa kaṭhina dimulai. Buddha memperkenankan masa kaṭhina ini selama satu bulan terakhir di musim hujan. Pelaksanaan upacara kaṭhina haruslah:
a)      seorang bhikkhu harus tinggal selama masa vassa dan tidak pergi kemanapun juga;
b)      harus ada minimal lima bhikkhu lainnya yang tinggal bersama di suatu wilayah vassa;
c)      kain yang dikumpulkan untuk membuat jubah harus sudah cukup untuk membuat salah satu dari tiga jenis jubah;
d)      bhikkhu itu harus membuat jubah dan selesai pada hari itu juga;
e)      setelah jubahnya jadi, ia mengucapkan anumodana kepada para bhikkhu yang telah membantunya mengumpulkan kain bahan jubah dan membuat jubah.
Adapun jenis kain yang dapat dijadikan bahan untuk upacara kaṭhina adalah kain yang baru yang diberikan umat awam, kain bekas pembungkus mayat, ataupun kain bekas yang telah dibersihkan.
            Menurut Mahāvagga, kain bahan jubah kaṭhina harus diberikan kepada bhikkhu yang jubahnya telah usang. Jika ternyata jubah para bhikkhu tidak ada yang usang, maka kain bahan jubah kaṭhina diberikan kepada bhikkhu yang memiliki vassa paling lama. Setelah menerima bahan tersebut, bhikkhu itu harus melakukan tujuh hal, yaitu (a) mencuci kain; (b) mengukur kain; (c) memotong kain; (d) menyusun kain; (e) menjahit kain hungga menjadi jubah; (f) mewarnai jubah; dan (g) membuat tanda jubah.
            Ketika upacara kaṭhina telah digelar, maka para bhikkhu yang telah menggelar kaṭhina mendapatkan hak-hak istimewa. Hak-hak itu adalah:
a)      mereka boleh pergi tanpa pamit terlebih dahulu, seperti yang digariskan di dalam peraturan keenam dari acelakavagga di dalam bab Pacittiya;
b)      mereka boleh melakukan perjalanan tanpa usah membawa perangkat komplit/sempurna dari jubah-jubahnya;
c)      mereka boleh makan ganabhojana (makan makanan dalam kelompok);
d)      mereka boleh menyimpan sebanyak atireka-cīvara (jubah-jubah ekstra) sesuka mereka;
e)      kain yang bertambah di tempat itu menjadi milik semua dari mereka. Juga civara-kāla (waktu untuk membuat dan menerima jubah) diperpanjang hingga genap empat bulan dari hemanta (musim salju).

B. Empat Kebutuhan Pokok Para Bhikkhu
            Dalam upacara kaṭhina, barang kebutuhan yang bisa didanakan oleh umat adalah kain bahan jubah. Pada masa sekarang, para bhikkhu juga diperkenankan untuk menerima dana jubah yang telah jadi. Namun ada juga barang kebutuhan yang boleh dipersembahkan dalam perayaan kaṭhina, misalnya obat-obatan, kūṭi, maupun makanan.
            Pemberian dana jubah adalah yang paling lumrah ketika perayaan kaṭhina (lebih tepatnya saṅghadana jika tidak ada minimal lima bhikkhu yang ber-vassa). Tetapi, pada masa sekarang, selain jubah, juga bisa dipersembahkan barang kebutuhan lainnya berupa makanan, obat, maupun kūṭi.

PENGHORMATAN

PENGHORMATAN
(Diterjemahkan secara bebas oleh: Rakay Sutamayapanna, S.Pd.B.)

Tiga permata (Buddha, Dhamma, dan Saṅgha) adalah perlindungan tertinggi bagi seorang Buddhis. Dalam Canon Pāli, para bhikkhu dilarang berbicara secara main-main mengenai Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. Hal ini dijelaskan sebagai berikut: “main-main” di sini berarti bertindak main-main atau berbicara dengan bercanda mengenai Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, seperti seorang aktor sekedar untuk kesenangan. Hal ini tidak boleh dilakukan.

Menceritakan fabel yang dengan menggunakan ceritera dari Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, memberikan nama-nama yang berkaitan dengan siswa-siswa mulia sebagai bagian dari ceritera, hal tersebut juga tidak tepat dilakukan. Menceritakan kisah-kisah Buddha dan anggota Saṅgha yang memang benar-benar terjadi, tetapi melalui cara-cara yang tidak pantas, seperti untuk bahan bercanda yang menyebabkan tawa dari pendengar, hal ini juga tidak boleh dilakukan. Jika tidak ada kepedulian mengenai hal ini, maka akan banyak muncul ceritera tentang Buddha dan para siswa mulia yang tidak dapat dipercayai. Oleh karena itu, ketika seseorang telah memutuskan untuk membicarakan perilaku atau cerita tentang Buddha dan para siswa mulia dengan tujuan untuk memberikan keyakinan kepada orang lain, maka hal ini harus dilakukan dengan cara yang baik demi penghormatan kepada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha.

Cara untuk menunjukkan kerendahan hati satu sama lain antara pabbajita dan gharavassa adalah hal yang indah untuk kedua komunitas tersebut. Buddha memperkenankan cara-cara seperti berikut:

  • vandana—bersujud, menunjukkan sikap hormat dengan lima titik, yaitu dahi, kedua lengan, dan kedua lutut);
  • utthāna—berdiri untuk menyambut;
  •  añjali—menggabungkan kedua telapak tangan untuk menghormat;
  • sāmīcikamma—cara-cara lain yang menunjukkan kerendahan hati yang indah dan baik.

Terdapat suatu tradisi bahwa para bhikkhu tidak bersikap añjali kepada orang lain di luar kelompok mereka, dalam bahasa Pāli disebut sebagai ‘anupasampanna’ (seseorang yang tidak mendapatkan upasampadā), seorang bhikkhunī juga termasuk (meskipun mereka juga mendapatkan upasampadā. Di dalam kelompok bhikkhu, bhikkhu harus tidak bersikap añjali kepada bhikkhu yang lebih junior, namun, bhikkhu harus bersikap añjali kepada bhikkhu yang lebih senior. Lebih lanjut, hal ini juga dilakukan bahwa seorang bhikkhu tidak bersikap añjali ketika bertemu dengan bhikkhu dari kelompok lain (nikāya), yang disebut sebagai ñāṇasaṁvāsa (seseorang yang memiliki Dhamma karena hidup terpisah). Meskipun kepada bhikkhu senior, jika apa yang dibicarakan bukanlah Dhamma, maka seorang bhikkhu lainnya tidak harus bersikap añjali kepadanya, namun, ketika bhikkhu tersebut berbicara mengenai Dhamma, maka ia harus dihormati dengan cara demikian. Añjali tidak perlu dilakukan kepada para bhikkhu senior, yang berda dalam kelompok yang sama, yang disebut samāṇasaṁvāsa (mereka yang memiliki Dhamma karena hidup bersama), dengan mengacu pada hal-hal seperti berikut:
  • ketika mempraktikkan vuṭṭhānavidhi (proses rehabilitasi), hal ini termasuk hukuman bagi pelanggaran saṅghadisesa;
  • ketika Saṅgha menetapkan ukkhepanīyakamma (tindakan penangguhan), bhikkhu yang dikenai penangguhan tersebut dilarang untuk makan bersama dan melakukan saṅghakamma bersama;
  • ketika bhikkhu tersebut sedang tidak memakai jubah atau hanya memakai jubah dalam;
  • ketika berjalan di sepanjang jalan atau tempat yang berpenduduk;
  • ketika berdiam di tempat yang gelap sehingga tidak memungkinkan untuk melihat satu sama lain;
  • ketika para bhikkhu senior tidak mengetahui, seperti saat sedang tidur, disibukkan dengan banyak pekerjaan, atau ketika sedang memikirkan sesuatu, sehingga bhikkhu yang sedang melakukan añjali kepadanya tidak direspon;
  • ketika sedang makan;
  • ketika sedang buang air besar atau air kecil.

Jika seorang bhikkhu sedang ber-añjali kepada bhikkhu senior dalam tiga kasus pertama di atas, maka ia melanggar dukkaṭa, tetapi untuk yang kelima lainnya hanya akan dinyatakan sebagai hal yang tidak pantas.

Penjelasan selanjutnya mengenai alasan para bhikkhu harus tidak melakukan añjali kepada orang yang lainnya. Hal ini bisa diketahui karena adanya kesimpulan mengenai penghargaan terhadap kelahiran. Orang-orang biasanya menghargai kelahiran mereka dalam kelompok tertentu dan menganggap bahwa ajaran mereka yang paling tinggi di antara ajaran-ajaran yang lainnya. Hal tersebut menghasilkan suatu kebanggaan tersendiri bagi mereka. Di dalam banyak sutta, hal ini dijelaskan bahwa para brahmana dan petapa datang menemui Buddha atau para siswa mulia dan berbicara secara ringan dan tanpa menunjukkan rasa hormat. Orang jenis ini memiliki prinsip tidak akan ber-añjali kepada orang lain di luar kelompok mereka. Para bhikkhupun kemungkinan besar memegang kebiasaan ini. Jika para bhikkhu tidak melakukan tradisi tersebut, mereka akan dianggap merendahkan diri sendiri dan memiliki kedudukan yang lebih rendah dibandingkan para brahmana dan petapa lainnya.

Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh mereka. Tidak mungkin para bhikkhu menunjukkan rasa hormat kepada mereka yang mengikuti ajaran lain dan kepada mereka yang mempraktikkan sīla yang lain. Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa ajaran yang dipegang oleh para bhikkhu dan sīla yang dijalankan oleh para bhikkhu adalah lebih tinggi. Oleh karena itu pengikut Dhamma dan sīla yang diajarkan oleh Buddha adalah yang tertinggi, maka bukanlah hal yang memungkinkan bagi mereka untuk menunjukkan penghormatan kepada kelompok lain, yang akan merendahkan diri mereka sendiri. Untuk alasan ini, mungkin, ada larangan untuk membuat añjali kepada kelompok lainnya.

Utthāna (berdiri untuk menyambut) adalah tugas dari seorang bhikkhu junior yang harus dilakukan kepada seniornya, namun hal ini tidak dijelaskan selengkap penjelasan añjali. Mungkin ini berarti bahwa bhikkhu junior yang sedang duduk di suatu tempat tidak akan berdiri menyambut para bhikkhu yang hadir jika bhikkhu yang hadir lebih junior. Mengacu pada masa sekarang, jika seorang bhikkhu duduk di dalam barisan dalam suatu tempat dan ketika ada pertemuan Saṅgha di vihāra, seorang bhikkhu tidak perlu berdiri untuk menyambut.

Añjali biasa digunakan dengan sikap seperti akan bersujud dan dapat digunakan oleh bhikkhu senior kepada orang lain, seperti ketika bhikkhu junior memohon maaf atau ketika sedang melakukan vinayakamma. Añjali juga bisa dilakukan dengan berdiri, namun hanya untuk bhikkhu senior.

Sāmīcikamma (metode lain untuk emnunjukkan rasa hormat) dapat dilakukan baik kepada bhikkhu yang lebih junior, misalnya ketika saddhivihārika sedang sakit, yang merupakan tugas dari upajjhāya untuk menjaganya.

Sehubungan dengan tiga hal di atas (añjali, utthāna, dan sāmīcikamma), bhikkhu tidak jatuh dalam pelanggaran (jika mereka melakukannya pada kesempatan yang salah), misalnya ketika mereka melakukannya untuk menunjukkan rasa hormat.

Ketika Buddha masih hidup, seorang bhikkhu memanggil bhikkhu yang lainnya dengan sebutan āvuso, yang berarti ‘seseorang yang memiliki usia panjang’, dalam hal ini, mereka membuat dirinya sejajar satu sama lain. Namun ketika Buddha akan Mahāparinibbāṇa, Buddha menginstruksikan kepada para bhikkhu untuk memanggil satu sama lain dengan memperhatikan senioritas. Seorang bhikkhu junior harus memanggil bhikkhu yang lebih senior dengan sebutan bhante dan bhikkhu senior memanggil bhikkhu junior dengan sebutan āvuso. Untuk alasan tersebut, hal ini menjadi tradisi para bhikkhu yang dilakukan sampai saat ini. Hal ini tercantum dalam Mahāparinibbāṇa Sutta dan tidak disebutkan dalam Vinaya dan oleh karena itu, para bhikkhu yang tidak mengikutinya, tidak melakukan pelanggaran.

Para bhikkhu memanggil satu sama lain dengan menempatkannya secara terhormat dengan mengatakan āyasmā sebelum namanya, misalnya āyasmā Ūpāli. Ini dilakukan untuk menyebut bhikkhu yang senior atau kepada mereka yang memiliki tingkaan yang sama dan bisa digunakan sampai sekarang.

Ketika bhikkhu junior berbicara kepada bhikkhu senior maka ia harus mengganti kata kerja dan mengganti bentuknya seperti berbicara kepada banyak bhikkhu. Tetapi ketika seorang bhikkhu senior berbicara kepada bhikkhu junior, ia dapat menggunakan bentuk tunggal. Kata-kata tersebut ada dalam vinayakamma, seperti saat melakukan pengakuan pelanggaran, ketika mengucapkannya dengan menggunakan bahasa Pāli.

Āsana hendaknya diprioritaskan bagi bhikkhu senior. Seorang bhikkhu junior kadang bisa juga duduk di atas āsana yang lebih tinggi dibandingkan dengan bhikkhu senior, yaitu ketika membabarkan Dhamma. Sebelum membabarkan Dhamma, ia harus meminta izin kepada bhikkhu senior. Mereka tidak menghormati senior jika tidak melakukan ini. Jika karena suatu keadaan tertentu seorang thera tidak dapat membabarkan Dhamma, maka tugas itu akan menjadi tugas bhikkhu yang lebih junior.

Ketika bhikkhu junior tinggal di dalam kuṭī yang sama dengan bhikkhu senior, jika ia berkeinginan untuk mengajar Dhamma, menjelaskan artinya, mengulang Dhamma, menyalakan atau memadamkan penerangan, membuka atau menutup jendela, maka bhikkhu junior harus meminta izin terlebih dahulu kepada bhikkhu senior. Terdapat larangan untuk bhikkhu junior jika melakukannya tanpa izin terlebih dahulu. Ketika bhikkhu senior mempersilahkan untuk melakukannya setiap saat sesuai dengan keinginan bhikkhu junior, maka barulah bhikkhu junior tidak perlu meminta izin lagi.

Ketika upajjhāya atau ācariya atau para bhikkhu yang merupakan upajjhāyamatta atau ācariyamatta sedang berjalan tanpa menggunakan sandal, maka bhikkhu yang lebih junior dilarang memakai sandal.
Terdapat suatu tradisi dari para bhikkhu yang sedang memasuki area cetiya, harus memiliki sikap yang penuh hormat, seperti tidak mengenakan paying, berjalan dengan sandal, atau memakai jubah menutupi kedua bahunya. Mereka harus tidak berbicara dengan keras atau duduk dengan kaki yang diarahkan ke cetiya, hal itu bukanlah bentuk penghormatan. Mereka tidak boleh buang air kecil atau besar, atau meludahi teras cetiya atau di sekitar gambar Buddha, perilaku yang baik hendaknya ditunjukkan untuk menghormati guru.

Terdapat tradisi dari para bhikkhu yang akan melaksanakan vinayakamma—seperti menyatakan kemurnian (pārisuddhi), pavāraṇā, atau mengakui āpatti (pelanggaran)—memakai jubah dengan bahu kanan terbuka, berlutut, dan bersikap añjali. Ketika bhikkhu akan mendengarkan penjelasan Vinaya, atau Dhammadesana, ia harus duduk dengan tenang dan mendengarkan, serta tidak berbicara dengan bhikkhu yang lainnya, tida harus berusaha tidak batuk atau mengeluarkan suara gaduh yang dapat menutupi suara pembicara Dhamma. Jika ia tidak tertarik mendengarkan Dhamma, ia tidak boleh berdiri dan pergi meninggalkan tempat itu ketika bhikkhu pembicara masih membabarkan Dhamma, namun ia harus menunggu sampai pembicaraan Dhamma tersebut berakhir. Jika penjelasan Dhamma tersebut terlalu panjang, seperti pembicaraan Dhamma pada malam hari, maka seorang bhikkhu hendaknya menunggu sampai satu bagian selesai disampaikan. Kata-kata Dhamma, meskipun dalam bentuk tulisan, print out, atau ukiran, tidak boleh melangkah di atasnya ataupun diinjak. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati Dhamma.

Terdapat tradisi dari para bhikkhu yang akan memasuki pertemuan Saṅgha, kecuali di tempat berpenduduk, untuk memakai jubah dengan bahu kanan terbuka untuk menunjukkan cara yang terkendali kepada bhikkhu senior dan junior. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati Saṅgha.

Di dalam kanon Pāli, hanya terdapat tiga cara tersebut untuk menunjukkan penghormatan, yaitu (1) memakai jubah dengan bahu kanan terbuka, (2) bersujud, dan (3) añjali ketika melakukan vinayakamma. Terpisah dari hal ini, sisanya adalah tradisi yang ditetapkan setelahnya, tetapi hal-hal itu adalah berkenaan dengan tugas-tugas yang baik dan para bhikkhu harus mempraktikkannya demikian.

Referensi:


Vajirañāṇavarorasa, Somdet Phra Mahā Samaṇa Chao Krom Phrayā. 1973. The Entrance to The Vinaya, Vinayamukha. Bangkok: Mahāmakut Rājavidyālaya Press.

MASA VASSA DAN KAṬHINA

MASA VASSA DAN KAṬHINA
Pengertian Masa Vassa dan Kaṭhina
Pada masa Buddha, terdapat tiga musim yang dihitung. Tiga musim itu adalah musim dingin (hemanta utu), musim panas (gimha utu), dan musim hujan (wassāna utu). Dalam hal ini akan dibahas lebih lanjut mengenai musim hujan (wassāna utu) dalam kaitannya dengan waktu berdiam di suatu tempat tertentu bagi para bhikkhu.

Merupakan suatu tradisi zaman dahulu bahwa semua orang akan menghentikan perjalanan mereka selama musim hujan berlangsung. Di mana saja orang-orang tiba di suatu tempat, jika sudah memasuki musim hujan, maka di sanalah mereka harus berdiam. Adapun alasan-alasan mengapa hal tersebut diberlakukan adalah:
1.      pada musim penghujan jalan-jalan menjadi becek dan tidak nyaman dilalui;
2.      banyak tanah berlubang yang tergenang air.

Pada mulanya, karena jumlah para bhikkhu yang masih sedikit, Buddha tidak menggariskan peraturan untuk berdiam atau menetap pada musim penghujan. Namun, para bhikkhu telah melakukannya berdasarka adat istiadat yang ada. Seiring dengan bertambahnya jumlah bhikkhu, Buddha pun akhirnya menetapkan peraturan untuk menetap selama tiga bulan di musim hujan. Periode waktu bagi para bhikkhu untuk berdiam di suatu tempat tertentu selama tiga bulan musim penghujan inilah yang disebut sebagai masa vassa.

Sebagai penanda awal memasuki masa vassa adalah satu hari setelah bulan purnama di bulan Asaḷha/Asadha. Dengan demikian, setelah para bhikkhu membacakan pāṭimokkha pada hari purnama di bulan Asaḷha/Asadha, mereka mengambil tekad untuk berdiam selama masa vassa. Setelah itu, para bhikkhu tidak diperkenankan berpergian dalam waktu satu malam selama tiga bulan.

Mengenai jangka waktu, musim hujan berlangsung selama empat bulan. Namun, Buddha hanya mewajibkan para bhikkhu untuk menetap selama tiga bulan pertama pada musim hujan. Sedangkan pada bulan terakhir di musim hujan tersebut, para bhikkhu sudah diperkenankan untuk berkelana kembali. Peraturan Buddha tersebut diberikan berkenaan dengan kebutuhan jubah (civara) para bhikkhu. Pada bulan terakhir musim hujan tersebut, Buddha memperkenankan para bhikkhu untuk membuat jubah baru, mengganti jubah luar, ataupun mengganti jubah lapis dua (saṅghati). Periode satu bulan inilah yang disebut sebagai masa kaṭhina.

Aktivitas Bhikkhu Selama Masa Vassa
Selama menjalani masa vassa para bhikkhu harus menetap di tempat yang terlindung. Para bhikkhu tidak diperkenankan untuk tinggal di area terbuka, di bawah lindungan payung, maupun di bawah tenda, tidak juga di lubang pohon, di bawah pohon, maupun di dalam kubah yang terbuat dari tanah liat. Mereka harus tinggal di dalam kuṭi yang terdapat di vihāra. Oleh karena itu, bhikkhu yang bertugas membagi tempat tinggal di dalam vihāra haruslah memberikan pengumuman pembagian tempat tinggal bagi para bhikkhu sebelum hujan turun. Dengan demikian, para bhikkhu yang lainnya dapat mempersiapkan diri dan mempersiapkan tempat tinggalnya dengan baik.

Sebelum menetap di suatu tempat untuk menjalani vassa, para bhikkhu haruslah membuat tekad dengan pikiran yang mantab untuk tinggal di wilayah itu selama tiga bulan penuh selama musim hujan. Cara yang kedua adalah dengan tidak membuat tekad, tetapi ia tidak pergi ke tempat lain untuk bermalam, dengan demikian ia telah menetapkan diri untuk tinggal di sana selama musim hujan. Namun, pada masa sekarang telah dibentuk kesepakatan untuk menyatakan tekad bersama-sama dari para bhikkhu yang akan berdiam di tempat yang sama. Kata-kata tekad tersebut adalah “imasmi× āvāse ima× temisa× vassa× upema,” yang artinya “Kita memasuki masa hujan di vihāra ini dalam waktu tiga bulan.”

Setelah itu, bhikkhu yang paling senior harus memberikan batas-batas vihāra yang menjadi wilayah menetap pada musim hujan. Meskipun para bhikkhu yang lainnya mungkin sudah tahu batas-batas tempat tinggalnya, prosedur ini harus dijalankan. Dengan demikian, pada waktu senja hari, para bhikkhu harus sudah berada dalam wilayah dan tidak keluar batas wilayah yang telah disebutkan oleh bhikkhu senior tadi.

Ketika hari pertama musim penghujan tiba, pada saat itu pula para bhikkhu tidak ada yang bepergian. Pada zaman dahulu, hal ini sangat ketat untuk dipraktikkan. Waktu ini merupakan waktu di mana para bhikkhu melatih diri secara intensif dalam hal meditasi, baik samatha bhāvana maupun vipassanā bhāvana. Pada saat menjalani masa vassa tersebut, para bhikkhu tidak dapat membabarkan Dhamma dengan bebas. Ada batasan-batasan tertentu yang harus dipatuhi dalam mempelajari maupun mengajarkan Dhamma. Misalnya, seorang bhikkhu tidak diperkenankan membabarkan Dhamma yang dapat mengganggu ketenangan bhikkhu lain yang sedang bermeditasi. Bhikkhu yang ingin membahas Dhamma tersebut haruslah melakukannya di tempat lain yang tidak akan mengganggu bhikkhu yang sedang bermeditasi.

Dalam peraturan, disebutkan bahwa selama tiga bulan pertama pada musim hujan, para bhikkhu dilarang bepergian. Namun dalam keadaan tertentu, para bhikkhu bisa saja mendapat izin untuk bepergian dalam jagka waktu tidak lebih dari tujuh hari. Izin tersebut dikenal sebagai sattāha karaṇiyā. Adapun izin yang diberikan untuk bepergian tidak lebih dari tujuh hari pada masa vassa adalah berkenaan dengan:
1.      pergi untuk merawat bhikkhu, sāmaṇera, ayah, atau ibu yang sedang sakit;
2.      pergi untuk menasihati bhikkhu atau sāmaṇera yang ingin lepas jubah;
3.      pergi karena memiliki tugas dari Saṅgha untuk memperbaiki vihāra yang rusak; dan
4.   pergi untuk menghadiri undangan orang-orang yang ingin melakukan perbuatan baik kepada Saṅgha sehingga orang-orang tersebut dapat memiliki keyakinan yang kuat.

Alasan lainnya selain empat hal di atas dapat digunakan sebagai sebab kepergian, sepanjang alasan tersebut pantas. Jika para bhikkhu bepergian lebih dari batas waktu yang ditentukan, maka masa vassa mereka dinyatakan gugur dan mereka melakukan pelanggaran vinaya.

Dalam beberapa kasus, terdapat juga hal-hal yang menyebabkan para bhikkhu menjadi gugur masa vassa-nya. Hal-hal itu adalah:
1.      para bhikkhu diganggu hewan-hewan liar, perampok, atau makhluk halus;
2.      tempat tinggal para bhikkhu terbakar atau tenggelam karena banjir;
3.      para penyokong kebutuhan bhikkhu meninggalkan tempat mereka yang menyebabkan para bhikkhu mengalami kesulitan dalam mengumpulkan makanan;
4.      hanya ada sedikit persediaan makanan (dalam hal ini, para bhikkhu harus berusaha bertahan, namun jika tidak bisa bertahan, maka diperkenankan meninggalkan tempat itu);
5.      ada umat awam yang menggoda bhikkhu; dan
6.      ada perpecahan Saṅgha di wilayah lainnya.
Jika enam hal di atas dapat diatasi dalam batas waktu tujuh hari, maka vassa para bhikkhu tidak gagal. Namun, jika lewat dari tujuh hari, maka vassa para bhikkhu akan gugur, namun mereka tidak jatuh dalam pelanggaran vinaya.

Masa Kaṭhina
Masa kaṭhina adalah satu bulan setelah masa vassa berakhir. Hal ini ditandai dengan pavāra di hari terakhir tiga bulan musim hujan. Pada periode ini, para bhikkhu sudah boleh melakukan perjalanan atau pengembaraan lagi. Namun, para bhikkhu biasanya menggunakan masa ini untuk membuat jubah baru sebagai pengganti jubah yang telah usang.

Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa hanya para bhikkhu yang telah menjalani masa vassa yang sempurna yang dapat memjalani masa kaṭhina. Meskipun pada masa ini, musim hujan belum lewat, tetapi intensitas hujan tidak sesering pada saat masa vassa. Air yang meggenang di jalan-jalan sudah mulai surut, dengan demikian para bhikkhu maupun masyarakat pada umumnya sudah bisa memulai perjalanan dengan cukup nyaman.