(Diterjemahkan
secara bebas oleh: Rakay Sutamayapanna, S.Pd.B.)
Tiga permata (Buddha, Dhamma, dan Saṅgha) adalah
perlindungan tertinggi bagi seorang Buddhis. Dalam Canon Pāli, para bhikkhu dilarang berbicara secara
main-main mengenai Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. Hal ini dijelaskan sebagai
berikut: “main-main” di sini berarti bertindak main-main atau berbicara dengan
bercanda mengenai Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, seperti seorang aktor sekedar
untuk kesenangan. Hal ini tidak boleh dilakukan.
Menceritakan fabel yang dengan menggunakan ceritera
dari Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, memberikan nama-nama yang berkaitan dengan
siswa-siswa mulia sebagai bagian dari ceritera, hal tersebut juga tidak tepat
dilakukan. Menceritakan kisah-kisah Buddha dan anggota Saṅgha yang memang
benar-benar terjadi, tetapi melalui cara-cara yang tidak pantas, seperti untuk
bahan bercanda yang menyebabkan tawa dari pendengar, hal ini juga tidak boleh
dilakukan. Jika tidak ada kepedulian mengenai hal ini, maka akan banyak muncul
ceritera tentang Buddha dan para siswa mulia yang tidak dapat dipercayai. Oleh
karena itu, ketika seseorang telah memutuskan untuk membicarakan perilaku atau
cerita tentang Buddha dan para siswa mulia dengan tujuan untuk memberikan
keyakinan kepada orang lain, maka hal ini harus dilakukan dengan cara yang baik
demi penghormatan kepada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha.
Cara untuk menunjukkan kerendahan hati satu sama
lain antara pabbajita dan gharavassa adalah hal yang indah untuk
kedua komunitas tersebut. Buddha memperkenankan cara-cara seperti berikut:
- vandana—bersujud, menunjukkan sikap hormat dengan lima titik, yaitu dahi, kedua lengan, dan kedua lutut);
- utthāna—berdiri untuk menyambut;
- añjali—menggabungkan kedua telapak tangan untuk menghormat;
- sāmīcikamma—cara-cara lain yang menunjukkan kerendahan hati yang indah dan baik.
Terdapat suatu tradisi bahwa para bhikkhu tidak bersikap añjali kepada orang lain di luar
kelompok mereka, dalam bahasa Pāli disebut sebagai ‘anupasampanna’ (seseorang yang tidak mendapatkan upasampadā), seorang bhikkhunī juga termasuk (meskipun mereka
juga mendapatkan upasampadā. Di dalam
kelompok bhikkhu, bhikkhu harus tidak bersikap añjali kepada bhikkhu yang lebih junior, namun, bhikkhu harus bersikap añjali
kepada bhikkhu yang lebih senior.
Lebih lanjut, hal ini juga dilakukan bahwa seorang bhikkhu tidak bersikap añjali
ketika bertemu dengan bhikkhu
dari kelompok lain (nikāya), yang
disebut sebagai ñāṇasaṁvāsa
(seseorang yang memiliki Dhamma karena hidup terpisah). Meskipun kepada bhikkhu senior, jika apa yang
dibicarakan bukanlah Dhamma, maka seorang bhikkhu
lainnya tidak harus bersikap añjali
kepadanya, namun, ketika bhikkhu
tersebut berbicara mengenai Dhamma, maka ia harus dihormati dengan cara
demikian. Añjali tidak perlu
dilakukan kepada para bhikkhu senior,
yang berda dalam kelompok yang sama, yang disebut samāṇasaṁvāsa (mereka yang memiliki Dhamma karena hidup bersama),
dengan mengacu pada hal-hal seperti berikut:
- ketika mempraktikkan vuṭṭhānavidhi (proses rehabilitasi), hal ini termasuk hukuman bagi pelanggaran saṅghadisesa;
- ketika Saṅgha menetapkan ukkhepanīyakamma (tindakan penangguhan), bhikkhu yang dikenai penangguhan tersebut dilarang untuk makan bersama dan melakukan saṅghakamma bersama;
- ketika bhikkhu tersebut sedang tidak memakai jubah atau hanya memakai jubah dalam;
- ketika berjalan di sepanjang jalan atau tempat yang berpenduduk;
- ketika berdiam di tempat yang gelap sehingga tidak memungkinkan untuk melihat satu sama lain;
- ketika para bhikkhu senior tidak mengetahui, seperti saat sedang tidur, disibukkan dengan banyak pekerjaan, atau ketika sedang memikirkan sesuatu, sehingga bhikkhu yang sedang melakukan añjali kepadanya tidak direspon;
- ketika sedang makan;
- ketika sedang buang air besar atau air kecil.
Jika
seorang bhikkhu sedang ber-añjali kepada bhikkhu senior dalam tiga kasus pertama di atas, maka ia melanggar dukkaṭa, tetapi untuk yang kelima
lainnya hanya akan dinyatakan sebagai hal yang tidak pantas.
Penjelasan
selanjutnya mengenai alasan para bhikkhu
harus tidak melakukan añjali kepada
orang yang lainnya. Hal ini bisa diketahui karena adanya kesimpulan mengenai
penghargaan terhadap kelahiran. Orang-orang biasanya menghargai kelahiran
mereka dalam kelompok tertentu dan menganggap bahwa ajaran mereka yang paling
tinggi di antara ajaran-ajaran yang lainnya. Hal tersebut menghasilkan suatu
kebanggaan tersendiri bagi mereka. Di dalam banyak sutta, hal ini dijelaskan bahwa para brahmana dan petapa datang
menemui Buddha atau para siswa mulia dan berbicara secara ringan dan tanpa
menunjukkan rasa hormat. Orang jenis ini memiliki prinsip tidak akan ber-añjali kepada orang lain di luar
kelompok mereka. Para bhikkhupun
kemungkinan besar memegang kebiasaan ini. Jika para bhikkhu tidak melakukan tradisi tersebut, mereka akan dianggap
merendahkan diri sendiri dan memiliki kedudukan yang lebih rendah dibandingkan
para brahmana dan petapa lainnya.
Hal
ini tidak mungkin dilakukan oleh mereka. Tidak mungkin para bhikkhu menunjukkan rasa hormat kepada
mereka yang mengikuti ajaran lain dan kepada mereka yang mempraktikkan sīla yang lain. Hal ini mengacu pada
kenyataan bahwa ajaran yang dipegang oleh para bhikkhu dan sīla yang
dijalankan oleh para bhikkhu adalah
lebih tinggi. Oleh karena itu pengikut Dhamma dan sīla yang diajarkan oleh Buddha adalah yang tertinggi, maka
bukanlah hal yang memungkinkan bagi mereka untuk menunjukkan penghormatan
kepada kelompok lain, yang akan merendahkan diri mereka sendiri. Untuk alasan
ini, mungkin, ada larangan untuk membuat añjali
kepada kelompok lainnya.
Utthāna
(berdiri untuk menyambut) adalah tugas dari seorang bhikkhu junior yang harus dilakukan kepada seniornya, namun hal ini
tidak dijelaskan selengkap penjelasan añjali.
Mungkin ini berarti bahwa bhikkhu
junior yang sedang duduk di suatu tempat tidak akan berdiri menyambut para bhikkhu yang hadir jika bhikkhu yang hadir lebih junior. Mengacu
pada masa sekarang, jika seorang bhikkhu
duduk di dalam barisan dalam suatu tempat dan ketika ada pertemuan Saṅgha di vihāra, seorang bhikkhu tidak perlu berdiri untuk menyambut.
Añjali
biasa digunakan dengan sikap seperti akan bersujud dan dapat digunakan oleh bhikkhu senior kepada orang lain,
seperti ketika bhikkhu junior memohon
maaf atau ketika sedang melakukan vinayakamma.
Añjali juga bisa dilakukan dengan
berdiri, namun hanya untuk bhikkhu
senior.
Sāmīcikamma
(metode lain untuk emnunjukkan rasa hormat) dapat dilakukan baik kepada bhikkhu yang lebih junior, misalnya
ketika saddhivihārika sedang sakit,
yang merupakan tugas dari upajjhāya
untuk menjaganya.
Sehubungan
dengan tiga hal di atas (añjali, utthāna,
dan sāmīcikamma), bhikkhu tidak jatuh dalam pelanggaran
(jika mereka melakukannya pada kesempatan yang salah), misalnya ketika mereka
melakukannya untuk menunjukkan rasa hormat.
Ketika
Buddha masih hidup, seorang bhikkhu memanggil
bhikkhu yang lainnya dengan sebutan āvuso, yang berarti ‘seseorang yang
memiliki usia panjang’, dalam hal ini, mereka membuat dirinya sejajar satu sama
lain. Namun ketika Buddha akan Mahāparinibbāṇa, Buddha menginstruksikan kepada
para bhikkhu untuk memanggil satu
sama lain dengan memperhatikan senioritas. Seorang bhikkhu junior harus memanggil bhikkhu
yang lebih senior dengan sebutan bhante
dan bhikkhu senior memanggil bhikkhu junior dengan sebutan āvuso. Untuk alasan tersebut, hal ini
menjadi tradisi para bhikkhu yang
dilakukan sampai saat ini. Hal ini tercantum dalam Mahāparinibbāṇa Sutta dan tidak disebutkan dalam Vinaya dan oleh
karena itu, para bhikkhu yang tidak
mengikutinya, tidak melakukan pelanggaran.
Para
bhikkhu memanggil satu sama lain
dengan menempatkannya secara terhormat dengan mengatakan āyasmā sebelum namanya, misalnya āyasmā Ūpāli. Ini dilakukan untuk menyebut bhikkhu yang senior atau kepada mereka yang memiliki tingkaan yang
sama dan bisa digunakan sampai sekarang.
Ketika
bhikkhu junior berbicara kepada bhikkhu senior maka ia harus mengganti
kata kerja dan mengganti bentuknya seperti berbicara kepada banyak bhikkhu. Tetapi ketika seorang bhikkhu senior berbicara kepada bhikkhu junior, ia dapat menggunakan
bentuk tunggal. Kata-kata tersebut ada dalam vinayakamma, seperti saat melakukan pengakuan pelanggaran, ketika
mengucapkannya dengan menggunakan bahasa Pāli.
Āsana
hendaknya diprioritaskan bagi bhikkhu
senior. Seorang bhikkhu junior kadang
bisa juga duduk di atas āsana yang
lebih tinggi dibandingkan dengan bhikkhu
senior, yaitu ketika membabarkan Dhamma. Sebelum membabarkan Dhamma, ia harus
meminta izin kepada bhikkhu senior.
Mereka tidak menghormati senior jika tidak melakukan ini. Jika karena suatu
keadaan tertentu seorang thera tidak
dapat membabarkan Dhamma, maka tugas itu akan menjadi tugas bhikkhu yang lebih junior.
Ketika bhikkhu junior tinggal di dalam kuṭī
yang sama dengan bhikkhu senior,
jika ia berkeinginan untuk mengajar Dhamma, menjelaskan artinya, mengulang
Dhamma, menyalakan atau memadamkan penerangan, membuka atau menutup jendela,
maka bhikkhu junior harus meminta
izin terlebih dahulu kepada bhikkhu
senior. Terdapat larangan untuk bhikkhu junior jika melakukannya tanpa izin terlebih dahulu. Ketika
bhikkhu senior mempersilahkan untuk
melakukannya setiap saat sesuai dengan keinginan bhikkhu junior, maka barulah bhikkhu
junior tidak perlu meminta izin lagi.
Ketika upajjhāya atau ācariya
atau para bhikkhu yang merupakan upajjhāyamatta atau ācariyamatta sedang berjalan tanpa menggunakan sandal, maka bhikkhu yang lebih junior dilarang
memakai sandal.
Terdapat
suatu tradisi dari para bhikkhu yang
sedang memasuki area cetiya, harus
memiliki sikap yang penuh hormat, seperti tidak mengenakan paying, berjalan
dengan sandal, atau memakai jubah menutupi kedua bahunya. Mereka harus tidak
berbicara dengan keras atau duduk dengan kaki yang diarahkan ke cetiya, hal itu bukanlah bentuk
penghormatan. Mereka tidak boleh buang air kecil atau besar, atau meludahi
teras cetiya atau di sekitar gambar
Buddha, perilaku yang baik hendaknya ditunjukkan untuk menghormati guru.
Terdapat
tradisi dari para bhikkhu yang akan
melaksanakan vinayakamma—seperti
menyatakan kemurnian (pārisuddhi), pavāraṇā, atau mengakui āpatti (pelanggaran)—memakai jubah
dengan bahu kanan terbuka, berlutut, dan bersikap añjali. Ketika bhikkhu
akan mendengarkan penjelasan Vinaya,
atau Dhammadesana, ia harus duduk
dengan tenang dan mendengarkan, serta tidak berbicara dengan bhikkhu yang lainnya, tida harus berusaha
tidak batuk atau mengeluarkan suara gaduh yang dapat menutupi suara pembicara
Dhamma. Jika ia tidak tertarik mendengarkan Dhamma, ia tidak boleh berdiri dan
pergi meninggalkan tempat itu ketika bhikkhu
pembicara masih membabarkan Dhamma, namun ia harus menunggu sampai pembicaraan
Dhamma tersebut berakhir. Jika penjelasan Dhamma tersebut terlalu panjang,
seperti pembicaraan Dhamma pada malam hari, maka seorang bhikkhu hendaknya menunggu sampai satu bagian selesai disampaikan.
Kata-kata Dhamma, meskipun dalam bentuk tulisan, print out, atau ukiran, tidak boleh melangkah di atasnya ataupun
diinjak. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati Dhamma.
Terdapat
tradisi dari para bhikkhu yang akan
memasuki pertemuan Saṅgha, kecuali di tempat berpenduduk, untuk memakai jubah
dengan bahu kanan terbuka untuk menunjukkan cara yang terkendali kepada bhikkhu senior dan junior. Hal ini
dimaksudkan untuk menghormati Saṅgha.
Di
dalam kanon Pāli, hanya terdapat tiga cara tersebut untuk menunjukkan
penghormatan, yaitu (1) memakai jubah dengan bahu kanan terbuka, (2) bersujud,
dan (3) añjali ketika melakukan vinayakamma. Terpisah dari hal ini,
sisanya adalah tradisi yang ditetapkan setelahnya, tetapi hal-hal itu adalah
berkenaan dengan tugas-tugas yang baik dan para bhikkhu harus mempraktikkannya demikian.
Referensi:
Vajirañāṇavarorasa,
Somdet Phra Mahā Samaṇa Chao Krom Phrayā. 1973. The Entrance to The Vinaya, Vinayamukha. Bangkok: Mahāmakut
Rājavidyālaya Press.
0 Response to "PENGHORMATAN"
Post a Comment