Pendidikan berasal dari kata didik.
Ainusysyam (2007) menyatakan bahwa pendidikan berarti memelihara dan memberi
latihan terhadap akhlak dan kecerdasan pikiran. Ilmu pengetahuan yang telah
diperoleh melalui pendidikan haruslah senantiasa dipelihara. Sedangkan
kecerdasan akhlak dan pikiran harus selalu dilatih agar dapat berkembang. Dengan
demikian, pendidikan berlangsung secara berkesinambungan.
Pendidikan
Agama
Pendidikan hendaknya juga diselaraskan
dengan moralitas. Melalui proses pendidikan, pembentukan moralitas yang baik
dapat disalurkan kepada peserta didik. Dalam hal ini, pendidikan agama dan budi
pekerti memiliki peran yang sentral. Oleh karena itu, pendidikan agama harus
mampu memberikan pengalaman fisik dan mental yang selaras dengan moralitas yang
baik. Hal itu tercermin dalam kehidupan peserta didik dalam lingkungan
masyarakat.
Indonesia yang notabene semua warga
negaranya harus memeluk agama, masih sering dilanda konflik yang berkaitan
dengan moralitas. Masalah moralitas dalam lingkup yang lebih kecil, misalnya
dalam bidang pendidikan, juga banyak ditemukan. Misalnya saja kasus video porno
yang dilakukan oleh siswa dari salah satu sekolah yang ada di Jakarta.
Dengan demikian, masih ada
ketidakselarasan antara pendidikan agama dengan perilaku peserta didik.
Khususnya perilaku yang berkaitan dengan moral. Hal inilah yang harusnya
menjadi pusat perhatian dan pengkajian ulang bagaimana proses pendidikan agama
diberikan kepada peserta didik. Pertanyaan yang mendasar adalah masih
relevankah pendidikan agama dijadikan pedoman hidup peserta didik?
Dalam hal ini, banyak hal yang harus
dikaji. Mulai dari proses pelaksanaan pendidikan, materi dalam kurikulum pendidikan
agama, bahan atau buku ajar, metode guru mendidik, dan kepribadian peserta
didik. Tulisan ini hanya akan membahas salah satu lingkup kajian yang
berhubungan dengan kurikulum pendidikan agama, yaitu kurikulum pendidikan agama
Buddha.
Kurikulum
Pendidikan Agama Buddha
Indonesia sebagai negara kesatuan dan
persatuan, terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama. Dengan demikian,
pendidikan agama Buddha hendaknya mampu memberikan pemahaman kepada peserta
didik mengenai pluralitas. Lebih jauh daripada itu, pendidikan agama Buddha
harus mampu membentuk peserta didik yang memiliki toleransi terhadap
perbedaan-perbedaan yang ada.
Pendidikan agama Buddha hendaknya mampu
mengintegrasikan ajaran agama Buddha dengan prinsip dasar moral. Lickona (dalam
Laser & Nicotela, 2011) menyatakan ada tiga dimensi moral yang harus
diintegrasikan dengan pendidikan. Ketiga dimensi moral tersebut adalah moral knowing, moral feeling, dan moral
action.
Moral
knowing meliputi kesadaran moral, pengetahuan nilai-nilai
moral, kemampuan memberi pandangan kepada orang lain, pertimbangan moral,
pengambilan keputusan, dan kemampuan mengenal diri sendiri. Sedangkan moral feeling adalah aspek perasaan
moral yang terdiri dari kata hati atau kata nurani, harga diri, empati, cinta
pada kebaikan, kemampuan mengendalikan diri sendiri, dan kerendahan hati.
Selanjutnya, moral action adalah tindakan
moral. Moral action terdiri dari tiga aspek, yaitu kompetensi
moral, kemauan, dan kebiasaan.
Untuk
mengintegrasikan moralitas tersebut dengan pendidikan agama, perlu disusun
ruang lingkup materi pendidikan agama. Adapun ruang lingkup Pendidikan Agama
Buddha tertuang dalam Buku Guru Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti yang
telah disesuaikan dengan kurikulum 2013. Terdapat enam aspek yang menjadi ruang
lingkup Pendidikan Agama Buddha, yaitu (1) keyakinan (saddhā); (2) moralitas (sīla);
(3) konsentrasi (samādhi); (4)
kebijaksanaan (paññā); (5) Tipiṭaka;
dan (6) sejarah. Enam aspek tersebut dijadikan rujukan untuk mengembangkan kurikulum
Pendidikan Agama Buddha pada jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK.
Sedangkan
kurikulum pendidikan agama Buddha untuk perguruan tinggi umum, belum ada
patokan yang jelas. Hal ini disebabkan minimnya tenaga dosen pendidikan agama
Buddha pada perguruan tinggi. Selain itu, jumlah mahasiswa yang beragama Buddha
di perguruan tinggi umum tertentu sangat sedikit bahkan tidak ada mahasiswa
yang beragama Buddha. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, perguruan tinggi
yang memiliki mahasiswa beragama Buddha biasanya melaksanakan pengajaran agama
Buddha dengan merekrut dosen tidak tetap. Biasanya dosen tersebut adalah guru
agama Buddha atau pandita agama Buddha. Dari segi materi, biasanya tetap
menggunakan enam aspek yang sama dengan aspek pendidikan di tingkat SD, SMP,
dan SMA/SMK dengan memodifikasi tingkat kesulitan materi.
Referensi
Ainusysyam,
Fadlil Yani. 2007. Pendidikan Akhlak.
Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian III: Pendidikan Disiplin Ilmu. Tanpa Kota:
PT. Imtima.
New York: The Guilford Piblication, Inc.
0 Response to "KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA"
Post a Comment