MASA VASSA DAN KAṬHINA

Pengertian Masa Vassa dan Kaṭhina
Pada masa Buddha, terdapat tiga musim yang dihitung. Tiga musim itu adalah musim dingin (hemanta utu), musim panas (gimha utu), dan musim hujan (wassāna utu). Dalam hal ini akan dibahas lebih lanjut mengenai musim hujan (wassāna utu) dalam kaitannya dengan waktu berdiam di suatu tempat tertentu bagi para bhikkhu.

Merupakan suatu tradisi zaman dahulu bahwa semua orang akan menghentikan perjalanan mereka selama musim hujan berlangsung. Di mana saja orang-orang tiba di suatu tempat, jika sudah memasuki musim hujan, maka di sanalah mereka harus berdiam. Adapun alasan-alasan mengapa hal tersebut diberlakukan adalah:
1.      pada musim penghujan jalan-jalan menjadi becek dan tidak nyaman dilalui;
2.      banyak tanah berlubang yang tergenang air.

Pada mulanya, karena jumlah para bhikkhu yang masih sedikit, Buddha tidak menggariskan peraturan untuk berdiam atau menetap pada musim penghujan. Namun, para bhikkhu telah melakukannya berdasarka adat istiadat yang ada. Seiring dengan bertambahnya jumlah bhikkhu, Buddha pun akhirnya menetapkan peraturan untuk menetap selama tiga bulan di musim hujan. Periode waktu bagi para bhikkhu untuk berdiam di suatu tempat tertentu selama tiga bulan musim penghujan inilah yang disebut sebagai masa vassa.

Sebagai penanda awal memasuki masa vassa adalah satu hari setelah bulan purnama di bulan Asaḷha/Asadha. Dengan demikian, setelah para bhikkhu membacakan pāṭimokkha pada hari purnama di bulan Asaḷha/Asadha, mereka mengambil tekad untuk berdiam selama masa vassa. Setelah itu, para bhikkhu tidak diperkenankan berpergian dalam waktu satu malam selama tiga bulan.

Mengenai jangka waktu, musim hujan berlangsung selama empat bulan. Namun, Buddha hanya mewajibkan para bhikkhu untuk menetap selama tiga bulan pertama pada musim hujan. Sedangkan pada bulan terakhir di musim hujan tersebut, para bhikkhu sudah diperkenankan untuk berkelana kembali. Peraturan Buddha tersebut diberikan berkenaan dengan kebutuhan jubah (civara) para bhikkhu. Pada bulan terakhir musim hujan tersebut, Buddha memperkenankan para bhikkhu untuk membuat jubah baru, mengganti jubah luar, ataupun mengganti jubah lapis dua (saṅghati). Periode satu bulan inilah yang disebut sebagai masa kaṭhina.

Aktivitas Bhikkhu Selama Masa Vassa
Selama menjalani masa vassa para bhikkhu harus menetap di tempat yang terlindung. Para bhikkhu tidak diperkenankan untuk tinggal di area terbuka, di bawah lindungan payung, maupun di bawah tenda, tidak juga di lubang pohon, di bawah pohon, maupun di dalam kubah yang terbuat dari tanah liat. Mereka harus tinggal di dalam kuṭi yang terdapat di vihāra. Oleh karena itu, bhikkhu yang bertugas membagi tempat tinggal di dalam vihāra haruslah memberikan pengumuman pembagian tempat tinggal bagi para bhikkhu sebelum hujan turun. Dengan demikian, para bhikkhu yang lainnya dapat mempersiapkan diri dan mempersiapkan tempat tinggalnya dengan baik.

Sebelum menetap di suatu tempat untuk menjalani vassa, para bhikkhu haruslah membuat tekad dengan pikiran yang mantab untuk tinggal di wilayah itu selama tiga bulan penuh selama musim hujan. Cara yang kedua adalah dengan tidak membuat tekad, tetapi ia tidak pergi ke tempat lain untuk bermalam, dengan demikian ia telah menetapkan diri untuk tinggal di sana selama musim hujan. Namun, pada masa sekarang telah dibentuk kesepakatan untuk menyatakan tekad bersama-sama dari para bhikkhu yang akan berdiam di tempat yang sama. Kata-kata tekad tersebut adalah “imasmi× āvāse ima× temisa× vassa× upema,” yang artinya “Kita memasuki masa hujan di vihāra ini dalam waktu tiga bulan.”

Setelah itu, bhikkhu yang paling senior harus memberikan batas-batas vihāra yang menjadi wilayah menetap pada musim hujan. Meskipun para bhikkhu yang lainnya mungkin sudah tahu batas-batas tempat tinggalnya, prosedur ini harus dijalankan. Dengan demikian, pada waktu senja hari, para bhikkhu harus sudah berada dalam wilayah dan tidak keluar batas wilayah yang telah disebutkan oleh bhikkhu senior tadi.

Ketika hari pertama musim penghujan tiba, pada saat itu pula para bhikkhu tidak ada yang bepergian. Pada zaman dahulu, hal ini sangat ketat untuk dipraktikkan. Waktu ini merupakan waktu di mana para bhikkhu melatih diri secara intensif dalam hal meditasi, baik samatha bhāvana maupun vipassanā bhāvana. Pada saat menjalani masa vassa tersebut, para bhikkhu tidak dapat membabarkan Dhamma dengan bebas. Ada batasan-batasan tertentu yang harus dipatuhi dalam mempelajari maupun mengajarkan Dhamma. Misalnya, seorang bhikkhu tidak diperkenankan membabarkan Dhamma yang dapat mengganggu ketenangan bhikkhu lain yang sedang bermeditasi. Bhikkhu yang ingin membahas Dhamma tersebut haruslah melakukannya di tempat lain yang tidak akan mengganggu bhikkhu yang sedang bermeditasi.

Dalam peraturan, disebutkan bahwa selama tiga bulan pertama pada musim hujan, para bhikkhu dilarang bepergian. Namun dalam keadaan tertentu, para bhikkhu bisa saja mendapat izin untuk bepergian dalam jagka waktu tidak lebih dari tujuh hari. Izin tersebut dikenal sebagai sattāha karaṇiyā. Adapun izin yang diberikan untuk bepergian tidak lebih dari tujuh hari pada masa vassa adalah berkenaan dengan:
1.      pergi untuk merawat bhikkhu, sāmaṇera, ayah, atau ibu yang sedang sakit;
2.      pergi untuk menasihati bhikkhu atau sāmaṇera yang ingin lepas jubah;
3.      pergi karena memiliki tugas dari Saṅgha untuk memperbaiki vihāra yang rusak; dan
4.   pergi untuk menghadiri undangan orang-orang yang ingin melakukan perbuatan baik kepada Saṅgha sehingga orang-orang tersebut dapat memiliki keyakinan yang kuat.

Alasan lainnya selain empat hal di atas dapat digunakan sebagai sebab kepergian, sepanjang alasan tersebut pantas. Jika para bhikkhu bepergian lebih dari batas waktu yang ditentukan, maka masa vassa mereka dinyatakan gugur dan mereka melakukan pelanggaran vinaya.

Dalam beberapa kasus, terdapat juga hal-hal yang menyebabkan para bhikkhu menjadi gugur masa vassa-nya. Hal-hal itu adalah:
1.      para bhikkhu diganggu hewan-hewan liar, perampok, atau makhluk halus;
2.      tempat tinggal para bhikkhu terbakar atau tenggelam karena banjir;
3.      para penyokong kebutuhan bhikkhu meninggalkan tempat mereka yang menyebabkan para bhikkhu mengalami kesulitan dalam mengumpulkan makanan;
4.      hanya ada sedikit persediaan makanan (dalam hal ini, para bhikkhu harus berusaha bertahan, namun jika tidak bisa bertahan, maka diperkenankan meninggalkan tempat itu);
5.      ada umat awam yang menggoda bhikkhu; dan
6.      ada perpecahan Saṅgha di wilayah lainnya.
Jika enam hal di atas dapat diatasi dalam batas waktu tujuh hari, maka vassa para bhikkhu tidak gagal. Namun, jika lewat dari tujuh hari, maka vassa para bhikkhu akan gugur, namun mereka tidak jatuh dalam pelanggaran vinaya.

Masa Kaṭhina
Masa kaṭhina adalah satu bulan setelah masa vassa berakhir. Hal ini ditandai dengan pavāra di hari terakhir tiga bulan musim hujan. Pada periode ini, para bhikkhu sudah boleh melakukan perjalanan atau pengembaraan lagi. Namun, para bhikkhu biasanya menggunakan masa ini untuk membuat jubah baru sebagai pengganti jubah yang telah usang.

Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa hanya para bhikkhu yang telah menjalani masa vassa yang sempurna yang dapat memjalani masa kaṭhina. Meskipun pada masa ini, musim hujan belum lewat, tetapi intensitas hujan tidak sesering pada saat masa vassa. Air yang meggenang di jalan-jalan sudah mulai surut, dengan demikian para bhikkhu maupun masyarakat pada umumnya sudah bisa memulai perjalanan dengan cukup nyaman.

0 Response to "MASA VASSA DAN KAṬHINA"

Post a Comment