Penggunaan Pālivācana

Umat Buddha biasa menyebut pembacaan pālivācana sebagai paritta. Sesungguhnya hal ini belum bisa dikatakan sepenuhnya benar ataupun sepenuhnya salah. Hal ini berdasarkan alasan bahwa ketika ditinjau dari makna kata, maka paritta memiliki arti perlindungan. Sedangkan yang dibaca atau dilafalkan dalam pelaksanaan puja bakti bukan hanya paritta, tetapi juga sutta, gātha, pāṭha, atau kathā yang secara kolektif disebut sebagai pālivācana.


Perlu kiranya umat Buddha memperhatikan penggunaan bahasa Pāli. Oleh karena itu, berikut ini diberikan penjelasan mengenai pembacaan aksara Pāli.

1)      Lambang Aksara dan Pelafalannya
Di Indonesia, lambang dan pelafalan aksara bahasa Pāli memiliki sedikit perbedaan dengan aksara bahasa Indonesia.
a)      Aksara Hidup atau Vokal
Aksara hidup atau vokal dalam bahasa Pāli terdiri dari 8 huruf, yang menurut panjang pendeknya dibedakan menjadi dua, yaitu vokal pendek dan vokal panjang. Kedelapan vokal Pāli tersebut, yaitu (1) vokal pendekà a, i, u; dan (2) vokal panjangà ā, ī, ū, e, o. Khusus vokal e dan o jika diikuti oleh konsonan, maka dilafalkan pendek.
b)     Aksara Mati atau Konsonan
Aksara mati dalam bahasa Pāli berjumlah 33 buah, yang dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu vagga dan avagga.

Vagga
K vagga    : k, kh, g, gh, ṅ
C vagga     : c, ch, j, jh, ñ
vagga     : ṭ, ṭh, ḍ, ḍh, ṇ
T vagga     : t, th, d, dh, n
P vagga     : p, ph, b, bh, m

Avagga      : y, r, l, v, s, h, ḷ, ṁ

Penjelasan
·         Konsonan: kh, gh, ch, jh, ṭh, ḍh, th, dh, ph, dan bh, adalah satu konsonan tunggal, bukan dua konsonan seperti yang terdapat dalam aksara Indonesia. Pelafalannya dibuat lebih kasar daripada konsonan yang sama tanpa diikuti h.
·         Konsonan yang bertanda titik bawah, yakni: ṭ, ṭh, ḍ, ḍh, ṇ, dan ber-artikulasi daerah depan lidah (daerah antara tengah dan ujung lidah.
·         Konsonan t, th, d, dh, dan n kelimanya ber artikulasi di ujung lidah. Pelafalannya dengan menyentuhkan ujung lidah ke daerah gigi depan.
·         Aksara dan , terlafalkan ng dan ṅg terlafalkan ngg. Contoh: saṅkhārā dibaca sang-khā-rā; sukhaṁ dibaca su-khang; aṅgutara dibaca: ang-gut-ta-ra.
·         Aksara ñ terlafaklan ny, dan ññ terlafalkan nny. Contoh: ñāṇa dibaca nyā-ṇa, paññā dibaca pan-nyā.
·         Konsonan h yang terletak setelah konsonan lain dilafaklan bersamaan dengan konsonan tersebut. Contoh: mayhaṁ dibaca may-(y)haṁ, tumhaṁ dibaca tum-(m)haṁ.
·         Konsonan v dilafalkan w, bukan f.
·         Pada satu suku kata yang berkonsonan akhir, aksara akhir tetap harus dilafalkan. Contoh: buddhaṁ dibaca bud-dhang, bukan bu-dhang atau bū-dhang.

2)      Kata Penggalan
Kata Pāli yang terlalu panjang terasa sulit dibaca. Pemenggalan kata gabungan diusahakan tetap dapat menjaga keutuhan kata yang terpenggal. Contoh mālāgandhavilepanadhāraṇamaṇḍanavibhūsanaṭṭhānā terdiri dari: mālā, gandha, vilepana, dhāraṇa, maṇḍana, vibhūsana, dan ṭhānā. Pemenggalannya menjadi: mālā-gandha-vilepana-dhāraṇa-maṇḍana-vibhūsanaṭ-ṭhānā.

Dalam kata gabungan yang kata belakangnya berawalkan vokal, pemenggalannya dilakukan dengan meletakkan tanda penggal pada suku kata pertama kata belakang itu. Contoh:
            Kata gabungan            : maṅgalamuttamaṁ
            Asal kata                     : maṅgalaṁ dan uttamaṁ
            Terpenggal                  : maṅgalamut-tamaṁ
            *Ketentuan ini tidak berlaku pada kasus pemenggalan kata diujung baris.

3)      Pembacaan Syair
Pembacaan wacana dalam bentuk syair dilakukan dengan mengikuti perbaris hingga kata yang ada di masing-masing baris terbaca habis lalu dilanjutkan ke baris berikutnya. Contoh:
            Bahū devā manussā ca         Maṅgalāni acintayuṁ
            Ākaṅkhamānā sotthānaṁ    Brūhi maṅgalamuttamaṁ

Setelah ‘Bahū devā manussā ca’ dibaca, pembacaan diteruskan ke baris yang sama, yakni ‘Maṅgalāni acintayuṁ’.

4)      Alun Bahasa Pāli
Bahasa Pāli bukanlah bahasa beralun atau bahasa yang kata-katanya ditentukan oleh tinggi rendahnya intonasi. Sehingga, pengucapan wacana Pāli dilakukan dengan mendatar saja. Alih-alih sebagai bahasa bernada, bahasa Pāli lebih bersifat sebagai bahasa bertekanan atau bahasa yang tiap suku katanya memiliki tekanan berat ringan. Tekanan berat (garu) ditandai dengan vokal panjang atau dengan konsonan akhir. Sedangkan tekanan ringan (lahu) ditandai dengan vokal pendek (tanpa ada konsonan akhir).

Dalam membaca, tekanan berat ditandai dengan seolah berhenti sejenak, tekanan ringan ditandai dengan kesegeraan menuju ke suku kata berikutnya. Hal ini kecuali tekanan ringan yang berada di akhir baris atau tempat-tempat yang dirasa perlu untuk berhenti sejenak. Bagaimanapun, melagukan wacana Pāli adalah suatu hal yang diperkenankan sepanjang tindakan itu tidak menyalahi tata baca dan tata tekanan.

5)      Penambahan Kata dalam Suatu Syair
Syair-syair dalam bahasa Pāli digubah dengan harus mengikuti kaidah penggubahan syair (chandalakkhaṇa). Tiap-tiap bentuk syair memiliki aturan dan namanya sendiri, yang di dalamnya mengatur jumlah suku kata dalam satu baris syair, berat dan ringannya tiap-tiap suku kata yang tersusun dan sebagainya. Sehingga, tindakan mengubah atau menambahkan kata, apalagi kata yang bukan istilah Pāli, ke dalam suatu syair bahasa Pāli-tanpa mengetahui kaidah penggubahan syair Pāli-akan merusak ketentuan pengubahan syair tersebut.

Pengubahan atau penambahan kata ke dalm syair Pāli yang terjadi di sini biasa terjadi dalam pembacaan Ettāvatātiādipattidāna. Misalnya dengan membubuhkan kata ‘Indonesia’, ‘para dermawan’, nama vihāra, nama organisasi, dan sebagainya.

6)      Perbedaan Penggunaan Kata Bhaṇāma dan Karoma
Kata bhaṇāma yang berarti ‘mengucapkan’ digunakan pada kata-kata yang diikuti dengan kata ­–sutta, -suttanta, -gāthā, -gāthāyo, -paritta, -pāṭha, atau –kathā dibelakangnya. Sedangkan, kata karoma yang berarti ‘melakukan’ digunakan pada kata-kata yang diikuti dengan kata selain di atas, misalnya anussati.

1 Response to "Penggunaan Pālivācana"