Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

Filsafat eksistensialisme adalah filsafat yang membahas tentang eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi dan fenomenologi atau cara manusia berada. Eksistensialisme memandang bahwa seseorang bertanggung jawab atas kemauannya. Kebenaran diakui sebagai hal yang bersifat relatif. Dengan demikian, masing-masing individu memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan.


Kebebasan dalam pandangan eksistensialisme, merupakan bentuk universalitas setiap manusia. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan pilihan. Namun, kebebasan tersebut adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Satu-satunya hal yang membatasi kebebasan seorang individu adalah kebebasan individu yang lainnya. Oleh karena itu, inti dari eksistensialisme adalah ketika seseorang membuat keputusan berdasarkan pilihan diri sendiri dan sadar untuk bertanggung jawab dengan pilihannya tersebut.

Penerapan eksistensialisme dalam pendidikan juga memberikan pengaruh yang besar. Dalam teori pengetahuan eksistensialisme, pengetahuan banyak dipengaruhi oleh fenomenologi, yakni suatu pandangan yang menggambarkan benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang kongkret. Dengan demikian, pelajaran di sekolah, ilmu pengetahuan apapun yang dipelajari, bukanlah sesuatu hal yang bersifat kaku ataupun harus dipatuhi. Materi pelajaran tersebut adalah sesuatu hal yang menunjang perkembangan siswa sebagai pembelajar, sebagai sarana untuk merealisasikan dirinya. Dengan demikian, pengetahuan manusia tergantung dari cara memahami dan menginterpretasi realitas yang terjadi.

Nilai kebebasan dalam bertindak sangat ditekankan dalam eksistensialisme. Namun yang perlu digaris bawahi, kebebasan bukanlah tujuan yang hendak dicapai. Kebebasan dipandang sebagai potensi dalam menentukan pilihan untuk memperoleh tujuan. Dengan demikian, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggung jawab atas konsekuensi pilihan yang diambil.

Menurut eksistensialisme, pendidikan bertujuan untuk mendorong manusia agar mampu mengembangkan semua potensi dirinya untuk dapat memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik dan berkaitan dengan kebutuhan pemenuhan diri. Dampaknya, dalam pemilihan kurikulum, tidak ada kurikulum yang pasti dan berlaku secara umum. Kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang memberikan siswa kebebasan individual yang luas. Hal ini ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan dari siswa, siswa secara bebas mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, dan menarik kesimpulan dari hasil pencarian jawaban tersebut.

Dari sudut pandang mata pelajaran, eksistensialisme memberikan asumsi bahwa tidak ada mata pelajaran tertentu yang memiliki nilai lebih dibandingkan mata pelajaran yang lainnya. Sebab, masing-masing siswa memiliki kecenderungan yang berbeda-beda untuk dapat menemukan jati dirinya dalam mempelajari bermacam-macam pelajaran. Sebisa mungkin mata pelajaran memberikan kontribusi nyata dalam mengembangkan potensi siswa. Siswa hendaknya tidak hanya dijadikan sebagai penonton teori, tetapi siswa lebih dihadapkan kepada situasi yang nyata. Dengan demikian, siswa mampu melakukan introspeksi diri dan mengenal gambaran dirinya.

Dalam proses belajar mengajar, eksistensialisme mendorong untuk terjadinya dialog antara guru dengan siswa. Proses belajar mengajar bukanlah suatu proses transfer ilmu dari teori kepada siswa oleh guru. Pengetahuan bukan untuk dilimpahkan, tetapi untuk ditawarkan. Agar terjadi dialog, pengetahuan yang ditawarkan kepada siswa tersebut hendaknya menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri. Jadi, pengetahuan yang ditawarkan oleh guru merupakan aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.

Seorang guru, menurut eksistensialisme, hendaknya memberikan kebebasan kepada siswa untuk menentukan pilihan dan memberikan pengalaman-pengalaman yang akan membantu siswa dalam memaknai kehidupannya. Bukan berarti dengan memberikan kebebasan tersebut, siswa menjadi tidak terkontrol dan berperilaku sesuak hati. Dalam hal ini, seorang guru menerima ide-ide dari siswa, kemudian guru memberikan ide-ide yang lain, serta membantu siswa dalam pemilihan keputusan dengan berbagai alternatif. Dengan demikian, siswa tidak akan melihat bahwa kebenaran itu tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia.

Siswa hendaknya tidak hanya dijadikan sebagai penonton. Siswa hendaknya menjadi salah satu faktor dalam suatu proses belajar. Artinya, siswa terlibat secara penuh dalam proses belajar tersebut. Selain itu, siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang suatu pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum di mana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan kebutuhannya. Dengan demikian, metode diskusi merupakan metode yang sangat dianjurkan dalam proses belajar mengajar

0 Response to "Filsafat Pendidikan Eksistensialisme"

Post a Comment